Tentang si Posmo di Hari Kartini

By Surya R. Labetubun - April 23, 2014

Senin. Dua puluh satu April. Tepat di hari Kartini. Di sudut sebuah kafe. Lantai dua. Dengan lepas memandang ke arah jalanan yang sesak dalam antrian panjang motor dan mobil. Di situlah saya berada. Berada di antara orang-orang yang tak pernah membuat saya bosan.

Ditemani dengan masing-masing minuman berbahan dasar kopi. Saya dan mereka pun saling bercengkrama. Seorang perempuan dan tiga orang  lelaki. Dihitung dengan kehadiran saya, berarti jumlah perempuan ada 2 orang. Lima orang dengan alasan yang sama. Bertemu. Itu alasan saya, tanpa embel-embel yang lain. Akan tetapi, keempat teman saya ini punya hal yang mesti mereka diskusikan bersama.

Masih dengan orang-orang ini. Orang-orang yang di antaranya, ada yang layak saya panggil dengan sebutan guru. Setelah percakapan mereka berakhir. Dua di antara pamit, untuk meneruskan rencana mereka yang lain. Jadilah kami, saya dan seorang pria serta seorang teman perempuan tetap duduk di sana.

Saya tidak mengingat dengan jelas awal perbincangannya. Rupanya kini kami sudah berada di tengah diskusi. Temanya bukan tentang hari Kartini. Bahkan sama sekali tidak ada kaitannya dengan isu gender atau mungkin kesetaraan. Bahkan juga tidak membahas tentang hak seorang perempuan dalam menuntut ilmu. Bukankah hal demikian sudah diketahui? Jelas. Perempuan juga punya hak yang sama dalam memperoleh pendidikan.

Ilustrasi Seorang Manusia
Sumber : studiojuliakay.com
Yang jelas, juga bukan dengan mempertanyakan kelayakan atau membandingkan antara R.A. Kartini dengan Cut Nyak Dien atau Cut Nyak Meutia. Belum lagi dengan ksatria perempuan lainnya. Ada si perintis pendidikan perempuan, Dewi Sartika dan Laksamana Malahayati yang dengan berani memimpin pasukan Inong Balee melawan Belanda.

Kartini. Yang bagi saya adalah sosok seorang perempuan tipikal "tukang curhat". Si penyurhat yang secara mendalam memperlihatkan bagaimana dirinya yang sebenarnya. Tentang Kartini yang menyoal pada ketertarikannya dengan Eropa dan emansipasi perempuan. Bahkan beberapa masalah sosial yang ditemuinya. Isi hatinya dia tumpah melalui surat-menyuratnya kepada sahabatnya, Rosa Abendon, salah satunya.

Tidak pula tentang kekritisan salah satu teman media sosial saya. Dia yang ketika ditanya Ibunya. Akan memakai pakaian adat daerahnya atau Kebaya saat pernikahan salah seorang sanak saudaranya. Dengan lantang, teman saya yang multitalenta ini menjawab, pakaian adat daerahnya. Berkebaya? Saya bukan Kartini, ujarnya.

Masih tentang Kartini. Di beberapa jejaring sosial yang saya miliki. Muncul gambar dengan kalimat "Kartini tahun 1902, Habis gelap terbitlah terang. Kartini 2014, Pergi gelap pulang terang." Belum lagi dengan status, "Gantunglah cita-citamu setinggi mungkin, melebihi tinggi kondemu."

Namun, di antara semua itu. Saya jatuh hati pada salah satu pernyataan mbak saya. Risa Amrikasari namanya. Dirinya menilai bahwa perlu dilakukan kampanye atau penyuluhan tentang makna hari Kartini itu sendiri. Dengan tidak memaknai hari Kartini seperti saat ini. Baginya, masyarakat masih terus digiring untuk memaknai hari Kartini ke arah urusan domestik rumah tangga saja. Padahal jauh dari itu, Kartini sejatinya menginspirasi kaum perempuan untuk memainkan perannya lebih luas lagi. Memperjuangkan haknya dari kelas "kedua". Meraih cita dan impian mereka.

Itulah kisah tentang Kartini. Saya kembali pada suasana di kafe yang saat itu cukup gerah. Tentu saja, kami tidak mungkin memilih berada di ruangan ber-ac. Lelaki-lelaki itu tipikal perokok. Sedangkan, saya dan teman perempuan, tipikal orang yang tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Jadilah kami memilih meja di ruangan terbuka. Sayangnya posisi kami cukup jauh dari kipas angin. Jadinya saya mengipas diri secara egois dengan beberapa lembar tipis kertas.

Perbincangan kami tiba-tiba berada di pembahasan tentang posmo. Meski awalnya ngomong ngalor-ngidul. Untuk saya yang memiliki otak mungil, tetapi unik ini. Posmo tentulah menjadi materi kelas berat. Untungnya, malam itu terlalui tanpa membuat saya bosan dengan si "posmo".

Kaef. Nama teman saya. Lelaki yang biasa saya panggil dengan menambahkan kata "kakak". Walaupun jujur, saya lebih senang memanggilnya guru. Itupun bukan nama aslinya. Kaef sendiri merupakan nama panggilan dari beberapa orang di grup IPAS. Salah satu bbm group yang saya ikuti.

Dirinya menawarkan kepada saya konsep posmo dengan caranya. Syukurlah, karena tidak membuat saya sampai menguap atau menggoyang-goyangkan kaki. Pertanda kebosanan sudah mulai melanda. Posmo ditawarkan kepada saya, sebagai sebuah metode. Dimana dalam hal ini, eksistensi manusia sebagai individu menjadi sangat berarti. Hal ini meniscayakan adanya penerimaan terhadap masing-masing pemikiran yang dimiliki orang. Sehingga, setiap orang pada akhirnya menghormati apa yang orang lain maksudkan.

Dengan penerimaan setiap individu ini. Maka aturan yang bersifat universal menjadi tidak berlaku. Kaef memberikan contoh sederhana ke saya dan Dian. Kaef menjelaskan. Jika pada umumnya kebanyakan orang menggunakan pipet untuk menikmati segelas jusnya. Maka tidak menjadi persoalan, jika ada yang memilih langsung meminum jus dari bibir gelasnya. Atau menikmati dengan sendok demi sendok. Itu sah-sah saja. Tidak ada aturan baku.

Tentu nyaman sekali pikirku. Apalagi dikaitkan dengan isu beragama di Indonesia saat ini. Miris melihat beberapa kelompok dengan mudah dipropaganda untuk menghancurkan saudara se-agamanya sendiri. Cukup bermodalkan kalimat ajaib. Sesat. Sampai di titik itu, saya berharap orang-orang di Indonesia sekiranya berpahaman posmo. Sehingga tak peduli apapun agamanya, sektenya, dan tuhannya. Karena kita akan menerima semua perbedaan itu. Yang dalam bahasa Kaef, posmo membuat manusia memanusiakan manusia yang lain. Andai pikirku..

Dalam perbincangan itu. Semisal posmo diaplikasikan dalam bentuk kelompok atau perusahaan. Maka setiap perusahaan akan memiliki cara mereka masing-masing dalam berkembang. Namun, bagaimana jika ada seseorang dengan sistem yang berbeda ingin bergabung di kelompok yang berbeda pula?

Kaef memaparkan. Pihak perusahaan akan memaparkan sistem mereka dan orang yang akan bergabung ini diberi pilihan untuk mengikuti sistem mereka atau tidak. Ini disebabkan karena tidak adanya aturan universal untuk pola sebuah sistem. Jadi sah-sah saja, jika sistem yang digunakan berbeda. Dimana posmo mengarah pada efektivitas sesuatu. Jika sendainya sistem yang ditawarkan lebih efektif dari sistem yang berjalan. Ada kemungkinan untuk merubahnya.

Masih menyoal tentang posmo. Kaef lanjut bercerita tentang sebuah negara yang diperkirakan menerapkan metode ini. Swiss. Di sana, hukum pemerintahan tetap ada. Namun, sangat jarang diaplikasikan. Hal ini bukan karena kurang sadarnya masyarakat terhadap aturan pemerintah itu. Tidak pula, pada rendahnya sosialiasi aturan yang dilaksanakan pemerintah. Ini lebih pada, bagaimana sikap masyarakatnya.

Di Swiss. Andai terjadi secara tidak sengaja seseorang dalam berkendara menyenggol kendaraan lainnya. Maka pihak korban secara suka rela akan memaafkan pelaku. Sedangkan pelaku secara sadar akan meminta maaf kepada korbannya. Ujung-ujungnya, pihak pelaku dan korban tidak akan memperkarakan kasus ini di meja hijau. Dan inilah mengapa beberapa peraturan pemerintah menjadi tidak digunakan.

Dan sama seperti yang saya fikirkan. Penerapan posmo di Indonesia masih jauh dari harapan. Dari pada sadar telah berbuat kesalahan. Justru ada oknum masyarakat yang memilih sembunyi. Parahnya, justru menuding pihak lain yang salah.

Tak sampai disitu. Kaef juga bercerita tentang kaum sosialis. Dimana kelompok ini mendahulukan kepentingan golongan dari individu. Atau sama dengan tidak mengakui eksistensi individu manusia. Tentu ini bertolak belakang dengan pahaman si posmo.

Sesaat. Saya bertanya. Apakah adakah metode yang menggabungkan posmo dan sosialis. Ada. Kata Kaef. Islam. Jawabnya selanjutnya. Menurutnya, Islam mengajarkan pemeluknya untuk menerima eksistensi individu dan golongan. Namun, jika kepentingan individu ini dibenturkan dengan egoisme pribadi seseorang. Maka Islam menyarankan untuk mendahulukan kepentingan golongan.

Melihat saya yang mangap. Kaef memberikan sebuah contoh sederhana. Yah mesti sederhana. Jika contohnya rumit. Maka saya akan dengan segera menikmati pemandangan saja. Tanpa embel-embel diskusi. Itulah saya.

Untuk masalah berteriak. Maka setiap orang dapat dengan leluasa berteriak. Itu tidak dilarang. Itu hak pribadi orang. Ungkapnya. Namun, jika seseorang yang berteriak ini dihadapkan pada kondisi dimana banyak orang. Maka tentu, berteriak menjadi tidak disarankan. Bukankah berteriak di tengah kerumunan orang, apalagi yang sedang sunyi akan menganggu ketenangan orang lain? Itulah maksudnya.

Menarik. Saya melalui malam saya dengan pembahasan yang sangat menarik. Sesuatu yang baru. Yang beberapa saat lalu bernilai membosankan. Berat. Tapi setidaknya, kini saya telah memiliki sedikit pemahaman di dalamnya. Terima kasih Kaef dan kakak Dian.

Dan cerita tentang si "posmo" masih berlanjut di beberapa pertanyaan selanjutnya. Sebelum terhenti oleh pembahasan desain rumah. Maaf, jika saya tidak membahasmu di hari spesialmu, Kartini. Si posmo ternyata lebih menarik.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments