Gelar Seminar Sehari, FKM Ajak Perempuan Terjun Ke Ranah Politik

By Surya R. Labetubun - June 11, 2013

Bertepatan dengan hari Isra' Mi'raj nabiullah Muhammad SAW  pada tanggal 06 Juni 2013, bertenpat di Hotel La Macca, Forum Komunikasi Muslimah (FKM) menggelar Seminar Sehari dan Musyawarah III FKM Pusat Makassar dengan teman "Menakar Kualitas Perempuan di Pentas Politik". Tampil sebagai pemateri yakni; 1) Prof. Hamdan Juhannis, M.A. dengan materi Kepemimpinan Perempuan di Pentas Sejarah Peradaban Islam, 2) Andi Mariattang, S. Sos. dengan materi Optimalisasi Peran Perempuan Politik di Sulsel, dan 3) Dra. Hj. Sabriati, M. Pd. dengan materi Kiat Sukses Perempuan di Ranah Domestik dan Publik. 


Acara ini didominasi oleh perempuan, meski terlihat beberapa sosok pria dalam skala kecil. Padahal seyogyanya acara yang membahas tentang keperempuanan, justru mesti menghadirkan pria dengan jumlah yang sebanding juga. Sehingga pemberian pemahaman tentang kualitas perempuan tidak hanya disampaikan kepada perempuan melulu, tetapi juga pria sebagai bagian yang senantiasa hidup berdampingan dengan perempuan. Nampaknya hal ini dapat disamakan dengan para calon walikota/wakil walikota/legislatif, jika mereka ingin masyarakat menggunakan hak suaranya secara cerdas, maka langkah utama yang mesti dilakukan adalah dengan memberi pemahaman tentang dunia politik. Wacana politik tidak menjadi hak utama para pelaku politik saja, melainkan juga mengikutsertakan masyarakat. Sehingga nantinya ketika masyarakat menyuarakan haknya saat pemilihan umum berlangsung, tidak serta-merta atas dasar kedekatan kekeluargaan atau kedaerahan, melainkan karena memang pilihannya berdasar.

Para Santriwan dan Satriwati TK/TPA Al-Furqan
saat mementaskan tarian Petani
Sumber : Facebook.com

Jika saja kita merujuk pada tema yang ditawarkan, maka hal yang perlu dipertanyakan yakni, apa parameter yang digunakan untuk mengukur kualitas perempuan di kancah politik? Apakah parameter yang digunakan adalah parameter universal, dimana kaum lelaki juga diukur dengan hal itu? Atau apakah benar tema ini diangkat, padahal jumlah perempuan yang sadar dalam menggunakan haknya untuk terjun sebagai praktisi politik boleh dibilang masih minim? Apakah perempuan juga benar-benar sadar ketika ingin menjadi bagian dalam dunia politik atau hanya ajakan untuk memenuhi persyaratan pendaftaran saja? Apa perempuan juga punya hal yang bisa dia tawarkan dan lakukan sehingga dogma 'perempuan sebagai instrumen' bisa terjawab?

Seminar ini diawali dengan pembukaan oleh ketua panitia, "FKM merupakan wadah komunikasi para perempuan dengan dasar ukhuwah dan media dalam meningkatkan kualitas, baik itu kecerdasan spritual, intelektual, maupun emosional", ungkapnya.

Lebih lanjut lagi, "Bidang yang digarap FKM mencakup tiga aspek, yakni; 1) Wilayah pendidikan dan pelatihan dalam bentuk diskusi atau seminar, 2) Bidang sosial  budaya dan ekonomi berkaitan dengan pementasan seni dan pembentukan koperasi, serta 3) Home schooling yang dilaksanakan di RS. Tajuddin Halik".

Selajutnya acara seminar ini mempersembahkan pementasan tari Petani dan Mappadendang dari TK/TPA Al-Furqan, lalu dilanjutkan dengan pembukaan secara resmi seminar dan musyawarah.

Acara seminar ini diawali dengan mempersilahkan panelis pertama untuk menjelaskan tentang perempuan dan sejarahnya oleh Prof. Hamdan Juhannis, M. A. yang lebih khusus membahas tentang perempuan Bugis Makassar.

"Perempuan Bugis Makassar mengalami penghargaan tertinggi di manapun dan cenderung tidak mengalami berbagai kesulitan menurut Thomas Stanford", ujar Prof. Hamdan mengawali pembicaraannya.

Prof. Hamdan melanjutkan pemaparannya tentang keterlibatan perempuan dalam ranah politik, "Adapun fakta historis tentang keterlibatan perempuan Bugis Makassar di ruang pubik. Boleh kita melihat nama-nama berikut ini:  We Tenri Rawe, Adatuang We Abeng, Datu Pattiro We Tenrisoloreng, Besse Kajuara, Andi Ninong, dan Petta Ballasari. Sedangkan fakta dalam dunia modern, kita dapat mengingat Andi Rasdiyanah, Masrurah Mukhtar, dan Majdah Mukhyiddin."

Menurut Prof. Hamdan, perempuan Sulawesi Selatan cenderung tidak mengalami hambatan yang begitu berarti dalam berkehidupannya, meski demikian ada beberapa hal yang mesti diperhatikan, yakni; 1) Maskulinitas ruang publik dimana timbul paradigma bahwa pria selalu lebih mapan, rasional, dan lebih kuat, 2) Tantangan budaya patriarki dimana pria selalu dinomor satu-kan, pemberian ruang ekspresi yang lebih kepada pria, dan skala prioritas bagi pria dalam hal kependidikan, 3) Tradisi yang memberi ruang lebih pada laki-laki di ruang publik yang dapat dilihat dari pengaturan persyaratan pernikahan yang lebih dibebankan kepada pria (uang pannai'), 4) Perserpsi teologis masyarakat tentang perempuan, dan 5) Persoalan internal yang perempuan sendiri hadapi.

Akhir pembicaraan Prof. Hamdan menegaskan, "Perempuan mesti kritis terhadap tradisi termasuk budaya patriarkal yang selama ini dijalaninya."


Berfoto Bersama Prof. Hamdan Juhanis
Sumber: Facebook
Materi selanjutnya dibawakan oleh Hj. Sabriati, ibu rumah tangga yang juga berkecimpung dalam dunia dakwah ini memulai pembicaraannya dengan mengajak perempuan untuk membuka pikirannya.

"Bagi perempuan, tidak ada dikotomi antara rumah dan ruang publik. Mengenai status yang perempuan miliki adalah setara dengan laki-laki sesuai dengan Al-Qur'an," tutur Hj. Sabriati.

Hj. Sabriati menjelaskan tentang arti penting perempuan untuk meningkatkan wawasannya juga kualitasnya, "Menjadi penting agar perempuan meningkatkan kualitasnya karena perempuan mesti berkecimpung pada 4 wilayah. Dimana pertama, perempuan mesti menjadi teladan yang baik bagi anaknya. Kedua, perempuan mesti juga menjadi pelabuhan hati sang suami. Ketiga. perempuan adalah seorang desainer surga dunia, yaitu mampu menciptakan rumah yang senantiasa menjadi rumah yang didambakan oleh suami dan anak-anaknya. dan keempat, perempuan dapat berguna bagi ummat."

Terakhir, Hj. Sabriati menyisipkan kiat-kiat sukses agar perempuan dapat sukses di ranah domestik yang dikaitkannya dengan rumah dan politik, "Perempuan mesti memiliki kekuatan iman yang baik, mempunyai manajemen waktu yang oke, mampu mendidik diri sendiri untuk dijadikan percontohan bagi keluarga, tawakkal, dan mampu membaca fenomenal yang ada sehingga tidak miskin pengetahuan."

Panelis terakhir, yakni Andi Mariattang yang juga merupakan anggota legislatif. Sebagai praktisi politik, Andi Mariattang mengajak perempuan untuk terjun di ranah politik, "Undang-Undang mengatur jumlah kuota perempuan dalam politik sebanyak 30%, bahkan kini di Sulawesi Selatan saja, perempuan yang turut andil dalam dunia politik sebagai calon legislatif sudah sekitar 3000 orang."

Bagi Andi Mariattang ada 2 hal yang mempengaruhi keterlibatan perempuan di politik yakni faktor regulasi yaitu kebijakan afirmasi di Undang-Undang no. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum, dimana mayoritas perempuan mampu dipilih di tingkat nasional maupun lokal bahkan berada pada urutan 1 sampai 3 besar. Juga pada sistem pencalonan, dimana terdapat kewajibkan untuk memasukkan perempuan dalam pengajuan dafatar caleg untuk setia parpol pada setiap 3 urutan caleg. Faktor kedua yakni non regulasi.

Andi Mariattang mengakhiri pembicaraanya dengan mengajak perempuan untuk lebih cerdas, "Perempuan mesti memiliki kemampuan untuk mengubah isu domestik menjadi isu publik. Jika kelak perempuan masuk dalam bagian perpolitikan, maka menadi layak perempuan untuk memperjuangkan hal-hal tentang keperempuanan, seperti pentingnya menjadi peka terhadap angka kematian bayi yang terus meningkat, angka kematian terhadap ibu yang melahirkan, peduli terhadap pemberian ASI bahkan terhadap Perda tentang ASI."
Para Santriwan dan Satriwati TK/TPA Al-Furqan
saat mementaskan tarian Mappadendang
Sumber : Facebook.com
Seminar ini setidaknya mampu mengarahkan perempuan untuk meningkatkan kualitasnya dalam berbagai aspek. Andai perempuan mau terjun ke ranah politik, maka perlu diingat bahwa keterlibatan perempuan dalam perpolitikan sampai sekarang belum mampu menyelesaikan masalah tentang keperempuanan, ini bagian yang perlu ditekankan. Lebih lanjut lagi, ketertinggalan perempuan tidak selayaknya didasari atas konsep teologi, dalam agama manapun, perempuan mendapat tempat yang baik, hanya saja terlalu banyak interpretasi yang hadir di tengah-tengah perempuan dan laki-laki sehingga mengaburkan 'kesetaran' yang ditawarkan agama.


  • Share:

You Might Also Like

0 comments