Ibu Di Antara Pertarungan ASI Eksklusif Dengan Eksekutif

By Surya R. Labetubun - April 21, 2013


Diskusi Regular Jurnalis Warga dengan Topik ASI Ekslusif
 JURnaL Celebes - Kinerja USAID di Kantor JC

www.facebook.com 
Memiliki buah hati dengan tubuh yang sehat, aktif, dan cerdas menjadi target utama dari setiap ibu, entah di perkotaan atau pedesaan, tak hanya milik golongan ekonomi atas tapi juga harapan mereka yang standar gajinya bahkan di bawah upah minimum regional. Berangkat dari niat baik itu, setiap ibu akan melakukan apa yang menurut mereka baik atau berdasarkan saran dari orang yang mereka percayakan bahkan meski orang tersebut tidak berkompeten untuk wilayah tertentu. 

Upaya yang paling mudah namun membuahkan hasil yang optimal untuk perkembangan anak yakni hanya dengan memberinya ASI eksklusif selama 6 bulan terhitung sejak bayi tersebut lahir, tanpa tersentuh dengan air putih sekalipun dalam proses ini. Sebagaimana diketahui bahwa dengan mengkonsumsi ASI eksklusif maka bayi tersebut telah diberikan nutrisi terbaik dari semua pilihan. Bagi si bayi, ASI secara umum diketahui mampu meningkatkan kekebalan tubuh sang bayi, kandungan ASI mampu mengurangi resiko terhadap infeksi lambung, sembelit, dan alergi, serta membantu meningkatkan tingkat IQ bayi. Untuk sang ibu, dengan memberi ASI maka ibu selangkah menjauh dari resiko terkena kanker payudara.

Gerakan memasyarakatkan pemberian ASI eksklusif senantiasa dilakukan oleh pihak Dinas Kesehatan dan juga lewat Program Kinerja USAID di kota Makassar. Dalam ini ibu Sitti Rohani selaku Local Public Service Specialist Program Kerja USAID di kota Makassar saat ditemui dalam diskusi Jurnalis Warga  (20/04)  yang bertempat di JURnal Celebes, bersama pak Muhammad Ikbal sebagai Penyuluh Kesehatan Puskesmas Cendrawasih Makassar yang juga merupakan bagian dari Bapak Peduli ASI menjelaskan upaya-upaya yang ditempuh pada 3 puskesmas yang mereka pantau, yakni puskesmas Batua, Cendrawasih, dan Pattingaloang.

Dalam program yang mereka pantau, ada 3 hal utama yang mesti disiarkan kepada masyarakat luas, yaitu tentang Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), ASI eksklusif, dan Inisiasi Menyusui Dini (IMD). Kesuksesan program ini memerlukan kerja sama antar semua pihak, mulai dari pihak puskesmas termasuk para tenaga medis, kader, dan mereka yang menjadi bagian dari puskesmas itu sendiri, para ibu yang memiliki bayi, bapak-bapak yang peduli terhadap pola kembang sang bayi, dan juga media sebagai pihak yang mampu menjembatani infornasi ini sampai ke masyarakat umum.

Masalah yang ditemui saat program ini dilaksanakan ialah banyaknya ibu-ibu (yang berada pada kondisi kelas menengah ke bawah) dengan pahaman yang rendah tentang manfaat pemberian ASI eksklusif. Terlalu banyak berhembus rumor buruk tentang menyusui di kalangan para ibu, terutama ibu muda yang akan atau telah memiliki anak pertama mereka. Ketakutan akan kehilangan bentuk tubuh yang menawan atau dogma tentang repotnya jika kemana-mana mesti menyusui sang bayi, dan juga mitos tertentu pada kalangan masyarakat mewarnai hari-hari mereka sebagai seorang ibu.  

Sebagai contoh, colostrum atau air susu yang pertama keluar setelah melahirkan diketahui memiliki nilai gizi yang sangat baik, namun sayangnya di masyarakat tertentu colostrum justru dikategorikan sebagai air susu ibu yang telah basi. Adanya ritual tertentu di kalangan lain seperti memberi madu di bibir bayi segera setelah lahir malah menjadi hal yang sangat tidak dianjurkan. Usaha pengenalan 'rasa' yang terlalu dini seperti membiarkan sang bayi yang masih berusia di bawah 6 bulan merasakan apapun makanan yang sang ibu pegang adalah hal yang sangat penting untuk dihindari. 

Untuk kasus dimana sang ibu bekerja, ini lebih dititikberatkan pada masalah waktu. Kebanyakan dari tempat kerja para ibu (setelah waktu cuti melahirkan habis) tidak membiarkan mereka membawa bayi mereka, sehingga atas dasar 'profesionalitas' atau kerepotan, dimana bisa dibayangkan bagaimana seorang ibu mesti pulang balik kantor - rumah hanya untuk menyusui sang bayi, padahal tempat kerja mereka jauh dari rumah tinggalnya. 

Kurangnya fasilitas untuk para ibu menyusui, semakin menurunkan minat mereka untuk mejalankan tugas mulia mereka. Di beberapa pusat perbelanjaan sendiri, fasilitas bagi ibu menyusui masih dinomor sekiankan, terkadang mereka malah di tempatkan di ruang kecil. Di dunia kantor, bahkan sangat jarang ditemui ruangan khusus bagi para ibu.

Kekurang pahaman yang banyak tanpa penjelasan medis ini dan kondisi-kondisi yang tidak memihak ini akhirnya menggiring para ibu untuk memilih memberi ASI eksekutif (susu formula) ketimbang ASI eksklusif. Padahal memberi ASI ekslusif itu adalah pilihan seperi yang dikatakan ibu Sitti Rohani. Padahal kerepotan itu bisa ditangani denga metode "bank ASI". Seorang ibu cukup mengeluarkan air susunya yang kemudian dimasukkan ke dalam lemari es agar tetap awet, bahkan cara ini diyakini tidak mengurangi kualitas air susu atau merusak kandungan gizinya kecuali jika air susu tersebut dipanaskan.

Di sisi lain, produsen ASI eksekutif semakin gencar mengajak para ibu untuk menggunakan produk mereka. "Simple namun memiliki kadar gizi" menjadi tema yang mereka usung. Tentu ini banyak menggiur para ibu, di luar dari ketidakpahaman mereka mengenai faedah ASI ekslusif. Tidak berhenti sampai disitu, produsen ASI eksekutif senantiasa melakukan inovasi dalam bidang pemasaran mereka. Jika memperhatikan dengan jeli, sekarang akan sangat banyak ditemui produk susu bagi para ibu hamil dan yang telah berusia 6 bulan di pasaran. Kondisi ini lagi-lagi membuat para ibu mesti menentukan pilihan, dimana saat itu juga kualitas sang bayi diperjuangkan. 

Para produsen ini juga menyerang para 'pekerja' yang berada di puskesmas. Pada kenyataannya tidak jarang ditemui para petugas kesehatan yang justru menawarkan produk ASI eksekutif dengan merek dagang tertentu kepada pada ibu. Padahal semestinya sebagai pihak di garis depan, mereka justru seharusnya menganjurkan agar para ibu ini meberikan ASI eklusif kepada para bayinya, terutama saat sang bayi baru lahir.  Khusus mengenai masalah kader yang justru mendukung penyebaran ASI eksekutif akan dikenakan sanksi sesuai dengan PERWALI yang ditetapkan pada tanggal 22 Desember 2012. 













Tulisan ini juga dapat dijumpai pada kompasiana.com

  • Share:

You Might Also Like

2 comments