Kartini, Si Tukang Curhat Dan Perempuan Ksatria Lainnya
By Surya R. Labetubun - April 24, 2013
Buku yang Berisi Kumpulan Surat Kartini Wikipedia.org |
Kartini, lahir dengan
nama lengkap Raden Adjeng Kartini pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa
Tengah. Sebagai seorang berdarah ningrat menjadi wajar jika Kartini dapat
menikmati indahnya pendidikan di bangku sekolah, tak heran pula jika Kartini
menguasai bahasa Belanda. Berangkat dari banyaknya hal baru yang didapatinya dari
buku dan media cetak menjadi sesuatu yang biasa jika pada akhirnya Kartini
memiliki pemikiran yang berbeda dari kebanyakan wanita di masanya. Pada
kenyataannya wanita di era itu belum
tersentuh pendidikan, lantas bagaimana mereka mampu berpikir kritis?
Kekuatan berpikir yang
berbeda ini lantas dituangkannya dalam surat-suratnya kepada sahabatnya, salah
satunya Rosa Abendanon. Dalam suratnya, Raden Ayu Kartini, nama
panggilannya, yang memiliki ketertarikan tidak biasa pada Eropa menceritakan
kegundahan hatinya. Kartini muda merasa terganggu dengan kenyataan bahwa
perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah. Namun, tidak hanya fokus pada persoalan
emansipasi saja, istri dari R. M. A. Ario Singgih Djojo Adhiningrat ini juga
mempertanyakan tentang masalah sosial umum bahkan pernah menyoalkan perihal metode
penyiaran agama yang diyakininya.
Akhirnya Kartini, simbol
emansipasi wanita pribumi pada kenyatannya tunduk juga dengan aturan, dirinya
pada akhirnya diberhentikan dari sekolah, dipingit, dan dinikahkan sesuai
dengan permintaan sang bunda. Tetapi, Kartini, si tukang curhat tetap saja
menuliskan suratnya kepada sahabatnya, namun kini dengan nada yang lebih ramah,
tersirat sikap toleransi dalam kalimat-kalimatnya. Ini mungkin terjadi karena
Kartini menikah dengan pria yang memiliki pengetahuan yang baik dan pengertian.
Suaminya memberinya kebebasan dan dukungan penuh, bahkan mendirikan Kartini
sekolah wanita yang berada di sebelah timur pintu gerbang pada kompleks kantor
kabupaten Rembang, yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka. Kartini wafat
pada usia dini, 25 tahun. Perempuan Jawa ini meninggalkan seorang anak bernama Soesalit
Djojoadhiningrat kepada suaminya.
Menyoal
tentang maraknya kritikan tentang peringatan hari Kartini di jejaring sosial yang
tidak sedikit terlihat latah, mengingat secara besar-besaran arus ‘mempertanyakan’
ini muncul dengan nada yang sama, meski pada kenyataannya tersirat kesyukuran
untuk kekritisan tersebut. Kritikan tersebut seputar bagaimana kabar perjuangan
ksatria perempuan lainnya seperti Cut Nyak Dien, sang ‘Ibu Perbu’ yang
senantiasa mengangkat senjata melawan Belanda hingga berusia senja dan Cuk Nyak
Meutia yang senantiasa memperjuangkan kemerdekaan bahkan gugur di Alue Kurieng
saat bertarung dengan Marechausée. Lantas bagaimana dengan Dewi
Sartika, perintis pendidikan untuk kaum perempuan serta Laksamana
Malahayati yang dengan berani memimpin sekitar 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang
tewas) melawan Belanda pada tanggal 11 September 1599 itu dan Rohana Kudus, si perdiri
surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang hidup semasa dengan Kartini? Nama Sulthanah Seri Ratu
Alam Safiatuddin Johan Berdaulat asal Aceh dan Siti Aisyah We Tenriolle dari
Sulawesi Selatan juga muncul kepermukaan.
Pertanyaan
‘mengapa harus Kartini’ ini sebaiknya tidak dianggap sebagai sebuah penghinaan
atau kondisi untuk merendahkan bahkan tidak menghargai tindakan atau eksistensi
Kartini. Keberagamanan pemikiran ini justru akhirnya mampu
melahirkan daya kritis bagi kita semua. Betapa sejarah tidak bisa menjadi
sesuatu yang ‘dahulu’ dan diam membisu tetapi bagaimana sejarah kembali
berbicara tentang kisahnya sehingga kita kaya akan khazanah sejarah itu
sendiri. Namun, marilah kita melihat kritikan atau koreksi itu untuk
objektifitas sejarah Indonesia sehingga pada akhirnya akan terbangun kualitas
karakter budaya yang baik.
Tulisan ini dapat pula dijumpai pada kompasiana.com
Tulisan ini dapat pula dijumpai pada kompasiana.com
0 comments