Tak Ingin Tumbuh Dewasa pada MTGF 2016

By Surya R. Labetubun - November 16, 2016

Domikado' adalah permainan yang dimainkan secara berkelompok dengan
cara berdiri melingkar sembari menyanyikan lagu.
Sumber gambar: Surya R. Labetubun





Dahulu, ketika saya masih berada di tingkat sekolah dasar. Saban sore, saya akan mengisi hari dengan bermain bersama anak-anak di kompleks. Bermain di jalan setapak  perumahan kami. Atau, sesekali bermain ke lorong sebelah. Juga di lapangan yang sebenarnya merupakan pelataran masjid di kompleks kami.

Tentu saja, saya hanya boleh bermain selepas menunaikan tidur siang. Itu ibadah wajib yang saya lakukan jika jadwal sekolah dilaksanakan di pagi hari. Akan tetapi, jika saya sekolah di siang hari. Kerap kali saya bermain tanpa berganti baju terlebih dahulu. Pokoknya, begitu tiba di pagar rumah, saya cuma meloloskan tas dan sepatu, kemudian berlari menuju ke teman-teman yang sudah berkumpul. Sudah barang tentu aksi ini menuai kekesalan bagi mama. 

Tak sampai di situ, saya masih saja sempat bermain setelah belajar mengaji di masjid. Dengan kronologi seperti ini, saya akan memilih menggunakan celana di dalam mukena yang saya kenakan. Kemudian beranjak ke masjid untuk shalat magrib. Saya biasanya menuju masjid bersama teman saya yang tinggal bersebelahan rumah. Walaupun sebenarnya, saya juga memiliki seorang adik lelaki, sayangnya, dia lebih gemar berangkat ke masjid bersama gangnya. 

Setibanya di masjid, usai shalat magrib berjamaah, kami akan dibagi berdasarkan tingkatan bacaan, yang kemudian akan diarahkan secara berkelompok ke seorang ustadz atau ustadzah. Durasi kami mengeja huruf-huruf kitab suci itu bisa beragam. Tergantung dari banyaknya murid yang terlibat dalam tim itu. Semakin banyak murid, tentu saja pengalokasian waktu yang digunakan kian panjang. 

Belum lagi, jika misalnya, ustad atau ustadzah kami menuturkan cerita-cerita yang menarik. Atau membiarkan kami mempresentasikan bakat-bakat terpendam kami. Sudah barang tentu kami betah berlama-lama. Untuk perihal yang satu ini, kami kembali dikumpulkan menjadi satu, duduk bersila tepat di depan mimbar.

Kala waktu sudah memasuki saat adzan isya dikumandangkan, kami kemudian diminta mengakhiri majlis dengan berdoa. Setelah itu, kami akan berlarian menuju ke tempat wudhu. Berebutan kran air. Dengan alasan memperbarui wudhu, kami biasanya main siram-siraman. Di sinilah gunanya mengenakan celana, sebab, saya bisa dengan leluasa berlari membalas teman-teman yang  memercikkan air ke arah saya.

Aktivitas macam begini hanya mampu dihentikan dengan teguran yang berasal dari ustadz/ustadzah kami, atau orang yang lebih dewasa dari kami. Tak jarang malah orang tua dari teman saya. Sayangnya, kami hanya akan berhenti sementara saja, setelah orang-orang yang menegur kami pergi, kami melanjutkannya lagi. 

Tetapi, ada beberapa pengecualian. Kami akan berhenti secara kaffah, jika ustadz/ustadzah yang menegur kami melakukan aksi pengawalan penuh. Jadi setelah menegur, kami akan dipastikan satu per satu untuk berwudu lalu kembali memasuki masjid. Satu per satu hingga bagian dari kami selesai. 

Pengecualian yang lain adalah, jika yang menegur kami merupakan salah satu orang tua dari kami, tentu saja, mereka meneror kami dengan ancaman akan melaporkan ulah kami ke orang tua masing-masing. 

Tuntas bermain air dan berwudu, kami kembali menunaikan shalat isya berjamaah. Di bagian ini, biasanya, anak-anak lelaki suka sekali menyebut kata aamiin sekeras mungkin. Mengagetkan seluruh jamaah. Kalau sudah begitu, anak-anak lelaki itu akan dihukum karena dianggap mengganggu orang lain beribadah. 

Kami, anak-anak perempuan justru akan mengejek mereka yang dihukum. Soalnya, saat mereka sedang menjalani masa hukuman, itu bertepatan dengan waktu kami melanjutkan permainan. Kembali bermain di pelataran masjid.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa usai melaksanakan shalat isya, kami akan melepaskan segala perangkat shalat, seperti, mukena, sarung, dan sajadah, pada masa itu baju koko belum terlalu mainstream. Syahdan kembali berhamburan di pelataran masjid. Bermain sesuka hati, kami memainkan apa saja permainan. 

Meski tak sedikit dari kami mematok lamanya waktu bermain, mereka takut orang tua mereka marah karena mereka telat pulang. Beberapa yang lainnya tetap bersuka cita berlarian ke sana kemari hingga orang tua mereka datang sembari meneriakkan nama anaknya.

Itu semua terjadi ketika saya masih kecil. Saat dimana memiliki televisi saja sudah menaikkan strata sosial pemiliknya. Ketika beberapa tahun kemudian, telepon rumah juga menjadi penanda kekuatan finansial. Kini, kala kopi di tangan kanan, gawai di tangan kiri, dan jodoh di tangan tuhan (curhat). Menemukan sekelompok anak-anak yang bermain di sebuah kompleks, misalnya, semakin sukar, bahkan tampaknya kegiatan bermain seperti itu kian memudar.

Tanpa menuduh teknologi sebagai pintu terbukanya hal-hal negatif, seperti adanya pahaman bahwa salah satu situs video streaming yang terkemuka, lebih sering dimanfaatkan untuk menonton film porno. Atau jenama goggle yang digunakan untuk mengakses konten foto perempuan telanjang. Begitulah memang teknologi, rupanya bak pedang bermata dua. Pengendalian yang tepat adalah koentji.

Sebagian besar anak-anak yang lahir sebagai generasi Z, justru lebih mudah akrab dengan segala tetek bengek teknologi, ketimbang permainan tradisional yang pernah dimainkan ibu bapaknya. Mereka hidup lintas generasi. Orang tua dan kakek-nenek mereka bisa jadi adalah kaum generasi X atau Y. Generasi yang menikmati permainan secara nyata, bukan melalui layar gawai. 

Permainan semacam dende, enggo, aseng-aseng, ma’cakke, lompat tali, lambasena, dan lainnya yang merupakan permainan tradisional di Makassar. Hampir sukar lagi mereka temukan, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah perkotaan. Atau mereka yang dibesarkan bersama gawai. 

Permainan tradisional dengan kekhasan adu fisik dan otak, sebenarnya masih tumbuh di daerah pinggiran kota, atau kompleks yang memiliki gang kecil. Mereka yang belum tersentuh gawai secara penuh. Atau lingkungan yang para orang tuanya tak pernah takut anaknya terjatuh ketika berlari, bajunya kotor atau berbau terbakar oleh sengatan matahari, juga badannya yang menjadi dekil dan penuh keringat.

Maka tak ada jalan lain selain memperkenalkan ke anak-anak generasi Z ini, terutama yang betul-betul tak mengenal permainan tradisional, tentang permainan yang pernah ada di masa orang tua dan kakek-neneknya. Ini misi suci, harga mati. Sebab, bisa saja permainan tradisional yang kian tersingkir itu, kelak hanya akan didengarkan dari kisah saja. Dijadikan cerita pengantar tidur generasi selanjutnya.

Di Makassar sendiri, untuk tetap memperkenalkan berbagai permainan tradisional, Komunitas Jalan-Jalan Seru (JJS) menelurkan kegiatan tahunannya yang bernama Makassar Tradisional Games Festival (MTGF) sejak tahun 2012 silam. Saya bersyukur di tahun ini bisa menghadirinya. Tahun lalu saya sempat memetik penyesalan, muasalnya karena saya telat mendapatkan informasi pelaksanaan MTGF.

Saya bersama Risma, teman sesama kuliah, mengitari Monumen Mandala, tempat pelaksanaan MTGF 2016, kegiatan ini berlangsung sejak 29 -30 Oktober. Kami mengunjungi satu per satu jenis permainan. Di MTGF 2016, selain menyediakan booth makanan tradisional dan moderen, kegiatan ini terdiri atas 14 ragam permainan yang bisa diikuti anak-anak dan orang dewasa. Khusus pengunjung dewasa, seperti saya dan Risma. Ini bisa jadi semacam upaya mengingat masa kecil kami. 

Saat menelusuri Monumen Mandala, kami juga bersua dengan kenalan-kenalan kami. Beberapa di antaranya, kami temukan tertangkap tangan sedang memainkan lompat karet, enggrang, dan ma'cakke. Berbeda dengan saya dan Risma yang lebih memilih menikmati kegembiraan melalui orang-orang yang memainkan permainan itu. Kenalan-kenalan kami ini betul-betul turun langsung menikmatinya. 

Mereka sungguh berbahagia kembali ke diri ‘kecil’ mereka. Pada permainannya, dalam makanan tradisionalnya. Bahkan dalam potret yang saya jepret, kebahagiaan itu terafirmasi. Jika sekiranya kegiatan ini bertujuan untuk menguak kembali kebahagiaan semacam itu, maka pesan tersebut, tercapai sudah, tibanya dengan selamat tanpa lecet sedikitpun. Yah, setidaknya bagi saya. 

Melalui mereka ini, dalam tawa mereka, keriangan mereka, gerak tubuh mereka, saya menemukan kembali kenangan indah. Masa dimana kuota bermain dalam sehari begitu banyak, hati begitu lapang, tak ada twit war, apalagi berkelahi on line.

Sudah barang tentu, tak salah kiranya, jika setelah menyaksikan kegembiran macam ini di MTGF 2016, saya dan kamu bisa jadi tak ingin tumbuh dewasa. 

  • Share:

You Might Also Like

0 comments