Menyaksikan Ca Bau Kan Sebagai Sebuah Perlawanan

By Surya R. Labetubun - June 12, 2017

Suasana Panggung Sebelum Pertunjukkan Dimulai
Sumber Gambar : Koleksi Pribadi

Awalnya, jadwal tunggal saya di Mei adalah menghadiri MIWF dengan beberapa teman, dan mengajak beberapa murid—entah yang masih saya ajar atau yang telah tamat. Kegiatan literasi macam ini bukan hanya ajang pamer deretan penulis belaka. Lebih dari itu, para pembaca menemukan surganya. Bertemu para penulis, bertemu buku-buku.

Rupanya, Mei juga saya lalui dengan mengunjungi Gedung Kesenian Societeit de Harmonie, Makassar, demi menyaksikan pementasan teater bersama sahabat. Bagi saya, ini adalah sebuah keceriaan, juga salah satu cara untuk menghibur diri dari penatnya pekerjaan atau pekatnya kisah hidup.

Keinginan menyaksikan Ca Bau Kan berawal dari gambar yang dibagikan seorang teman di facebook. Saya berminat meyaksikan pementasan itu, meski saya tak pernah membaca novel Ca Bau Kan karya Remy Sylado ini. Saya hanya membaca sinopsisnya di Wikipedia berkat bantuan mesin pencari. Bahkan, saat difilmkan di tahun 2002 silam, saya pun belum menontonnya hingga kini.

Selain perkara di atas, saya juga ingin melihat langsung bagaimana cerita Ca Bau Kan setelah dialihwahanakan oleh Bahar Merdhu. Bagaimana Bahar menyisipkan dialek bahasa Makassar ke dalam pementasan ini. Sebaliknya, bagaimana para pemain dalam pelafalan dialek bahasa Cina. Dan, bagaimana Teater Studio Makassar meramunya serta menyajikannya.

Di sisi lain, saya juga tergiur dengan informasi sisipan dari gambar yang dibagikan teman saya itu. Di gambar itu, tertera pemberitahuan bahwa 50 penonton pertama pada setiap pertunjukan akan mendapatkan buku drama Ca Bau Kan. Dalam sehari, pertunjukkan tampil 2 kali, pada pukul 16.00 dan 19.30 WITA. Sungguh, untuk godaan semacam ini dosa kalau ditolak.

Syukurlah, upaya masuk menjadi 50 penonton pertama rupanya tak sia-sia. Ketika tiba di Gedung Kesenian, saat menuju meja tempat pembelian tiket. Saya diberi bonus berupa buku drama Ca Bau Kan dan buku berjudul Simfoni Kehidupan Halim Homeric karya Andhy Pallawa.

Halim Homeric juga tampil pada pementasan itu. Halim menampilkan secara berurutan lagu Sulawesi Pa’rasanganta, Yue Liang Dai Biao Wo De Xin, danAnging Mammiri. Sekalipun saya tak tahu seluk beluk biola, tetapi bagi saya, permainan biola Halim sangat indah. Sebagai seorang Tionghoa dan pemusik, Halim telah menerjemahkan lagu-lagu Makassar ke bahasa Mandarin. Bahkan, menghadirkan kegiatan pembelajaran bahasa Mandarin di Universitas Hasanuddin Makassar.

Pementasan yang berlangsung sejak 14 sampai 16 Mei ini, diawali pertunjukkan musik yang dipimpin oleh Halim Homeric, bersama dua orang yang mengiringinya, Halim memainkan lagu Sulawesi Pa’rasanganta dengan memukau. Beberapa remaja yang duduk di sekitar kami (saya dan sahabat saya) bertepuk tangan diawal penampilan Halim. Mereka tampak tenang menyaksikan Halim, mesti sesekali menengok ke gawai yang digenggamnya, saya pun demikian.

Setelah pertunjukkan musik selesai, lampu dipadamkan. Tak sampai semenit, panggung kembali diterangi lampu. Pementasan diawali dengan tokoh G. P. A. Dijkhooff berdiri di tengah-tengah panggung. Mengenakan baju berwarna putih, sepatu boot cokelat muda, dan mengenakan floppy hat. Tampil bak noni Belanda.

Dijkooff memperkenalkan diri sebagai anak Ca Bau Kan. Ca Bau Kan sendiri bermakna perempuan dalam bahasa Hok-Kian. Ca Bau Kan yang terkadang dilafalkan Cabo, kadang diartikan sebagai perempuan tak bermoral. Hal ini adalah sebuah kekeliruan, tutur Dijkooff.

Syahdan, dengan mimik dan gesture yang mantap, Dijkooff mulai menuturkan kalimat demi kalimat ihwal kedatangannya di Indonesia. Mencari jawaban atas tahun-tahun yang dilewatinya. Apakah ayahnya, Tan Pen Liang, merupakan pahlawan atau seorang pengkhianat?

Berbeda dengan kisah yang ditulis Remy, Ca Bau Kan versi ini diawali dengan kisah pernikahan antara seorang gadis kampung berusia 14 tahun dengan seorang juragan perahu yang kaya raya. Tinung yang bernama asli Siti Nurhayati binti Uking dinikahi dan sah menjadi istri kelima dari Karaeng Kobara’. Ini menarik, mengingat khasnya ungkapan dimana perahu berlabuh, di situ nafsu bertumbuh. Sebagai sebuah penggambaran, beberapa pelaut memang dikaitkan memiliki istri lebih dari satu atau mata keranjang. Seolah-olah, profesi tertentu mengubah atau membentuk karakter orang.

Pertunjukkan ini juga menampilkan sosok bibi Tinung, Saodah, sekaligus pemilik tempat pelacuran. Saodah digambarkan memiliki pandangan yang over general terhadap kaum lelaki. Bagi Saodah, lelaki di dunia ini semua sama. Lelaki itu tak ada bedanya dengan anjing. Tak betah saat melihat perempuan.

Menyaksikan Saodah berkata seperti itu, beberapa penonton lelaki menunjukkan ketidaksetujuannya. Seorang yang duduk tepat di depan saya malahan menggulung ujung bajunya sembari berujar, “Berkelahi deh”. Yang kemudian lengannya dipegang oleh seorang perempuan di sampingya, kekasihnya saya kira. Perempuan ini hanya tertawa kecil. Lelaki itu kembali menyandarkan badannya ke kursi.

Pertunjukkan dengan durasi hampir 2 jam ini, sejak awal, penonton disuguhi kalimat-kalimat khas Makassar. Pada beberapa percakapan, beberapa makian lokal terlontar. Makian khas Makassar ini terasa semakin menghidupkan suasana panggung. Gelak tawa sesekali muncul di sisi penonton. Tak tanggung-tanggung, beberapa penonton bahkan mengulang kata-kata itu. Memaki balik.

Pada bagian dimana Tan Pen Liang tampil—baik Tan Pen Liang pertama maupun yang kedua—suasana budaya Cina coba ditampilkan. Menarik melihat para pemain menirukan gaya berbicara orang Cina. Pelafalan papa dan mama khas masyarakat Tionghoa. Maupun menirukan cara tutur orang Belanda, seorang tentara Belanda. Tak ada yang dilebih-lebihkan, tak pula dilakonkan untuk mengejek etnis tertentu.

Pertunjukan ini memang sesuai dengan apa yang Bahar sampaikan dalam wawancaranya di gosulsel.com, “Kita ingin berbicara perbedaan etnis menjadi cair berurusan dengan cinta”. Ini juga senada dengan yang disampaikan Ketua Teater Studio Makassar, Goenawan Monoharto, “Kami ingin membuat teater terus menggeliat di Makassar yang bisa mengimbangi perkembangan pesat film, lagipula, film ini sarat pesan moral tentang pembauran”.

Teater Studio paham betul bagaimana menyampaikan pesan kepada penonton dan peka terhadap kondisi sosial. Mereka tahu kekuatan sebuah pertunjukkan. Memengaruhi sedikit atau banyak, setidaknya, ihwal menyampaikan walaupun sedikit itu sudah mereka laksanakan.

Mungkin inilah alasan mengapa pementasan ini—menurut saya—jauh dari kesan menyudutkan salah satu etnis. Saat Tinung dicerca Cabo atau pelacur oleh anak-anak Tan Pen Liang kedua, misalnya. Tan Pen Liang kemudian menjelaskan bagaimana kita harus menghargai orang lain. Juga berlaku adil. Tiada melulu pada perkara pribumi atau non pribumi yang kian menghangat akhir-akhir ini.

Bagi saya, pola pikir untuk tidak mengotak-kotakkan seperti ini mesti dipelihara. Berlaku adil tanpa memandang etnis adalah perilaku baik. Memanusiakan manusia. Bagi saya, menyaksikan Ca Bau Kan kali ini adalah sebuah perlawanan.


Dimuat di minumkopi.com tanggal 27 Mei 2017

  • Share:

You Might Also Like

0 comments