Berlebaran dengan Nasu Likku

By Surya R. Labetubun - October 18, 2017

Penampakan nasu likku buatan ibunya Nurhaedah. | © Surya R. Labetubun

Selain mengisi Idulfitri dengan mengirimkan pesan permohonan maaf. Bersua dengan sanak keluarga dan kerabat, sembari membahas ulang kenangan, baik yang membahagiakan maupun yang memalukan, beberapa diantara kita lantas masih ada yang belum mampu mengelak dari pertanyaan kapan nikah, kapan wisuda, dan versi kapan-kapan yang kian beragam nan menyesakkan ini.

Lebaran sejatinya adalah momentum bersemukanya orang-orang pada jenis makanan tertentu. Apalagi, bagi para perantau yang memutuskan untuk mudik. Reuni lidah tak bisa Anda hindari, bukan?

Pada sepiring makanan itu, terkadang tercium aroma kenangan masa kecil. Dan, saat mencicipinya sebenar-benarnya upaya menebus kerinduan pada kampung halaman. Terutama saat masih berkesempatan berkumpul dengan orang tua dan saudara.

Makanan tertentu tersebut biasanya menjadi penanda. Kekhasan yang tak bisa dinegosiasi. Harga mati. Ihwal ini saya temukan setiap kali saya berkunjung ke rumah sahabat saya, Nurhaedah.

Di rumahnya, setiap lebaran, entah Idulfitri maupun Iduladha, Mhimi — sapaan sayang kami kepada Nurhaedah — selalu saja menjamu kami dengan makanan khas suku Bugis, identitasnya sebagai keturunan Sengkang. Ibunya Mhimi tiada pernah alpa membuat makanan: “ayam masak lengkuas”, di sini kami menyebutnya nasu likku. Di Sulawesi Selatan, masyarakat Parepare, Wajo, Pinrang, Sidenreng Rappang (Sidrap), Barru, Pangkep, dan Maros sangat familiar dengan lebaran bersama nasu likku.

Bagi Mhimi sekeluarga, nasu likku adalah penanda. Masakan ini hanya akan dimasak ibunya saat lebaran, syukuran, atau ada anggota keluarga yang berulang tahun.

“Nasu likku adalah identitas keluarga kami. Makanan wajib. Lebaran itu yah nasu likku. Dan mesti buatannya mama,” jelas Mhimi. Tak ada tawar-menawar. Nasu likku adalah koentji!

Mhimi melanjutkan, selama hidupnya, tak sekalipun lebaran terlalui tanpa kehadiran nasu likku. Saya percaya dengan pernyataan Mhimi tersebut. Sebab, sejak mengenalnya dan akrab di tahun 2006, saban hari raya, pasti saya menikmati nasu likku yang nikmat itu. Entah kala bertandang ke kediamannya, atau dikirimkan ke rumah saya.

Masakan yang namanya merujuk dari bahan dasarnya yang dipotong-potong kemudian dimasak bersama lengkuas parut atau dicincang kasar ini. Lazim disajikan bersama nasi, lontong, ketupat, burasa, tumbu’, legese, atau sokko — beras ketan yang dimasak bersama santan. Meski kebanyakan orang suku Bugis sangat senang menikmati nasu likku bersama tumbu’ atau legese.

Nasu likku sendiri proses pengerjaannya memakan waktu sekiranya dua jam atau lebih, disesuaikan dengan jumlah ayam dan kelapa yang digunakan. Cukup lama juga pikir saya. Mhimi menjelaskan penyebabnya.

Rupanya, santan yang digunakan saat memasak nasu likku harus benar-benar susut, sedangkan jumlah kelapa yang digunakan banyak. Semakin banyak kelapa atau santan yang digunakan, masakan justru semakin enak. Santan yang susut ini kemudian bertransformasi menjadi minyak. Inilah yang kelak menjadi alasan makanan ini nikmat tiada tara.

“Nasu likku buatannya mamaku masih menggunakan bahan tradisional,” ucapnya. Betul, sepengetahuan saya, dalam memasak nasu likku, ibunya Mhimi masih kukuh menggunakan ayam kampung sebagai bahan bakunya.

Berbeda dengan kebanyakan nasu likku kekinian yang menggunakan ayam potong. Tak bisa disalahkan, mengingat harga ayam kampung yang relatif mahal di pasar. Terutama saat menjelang lebaran, harganya kian melambung tinggi. Ayam potonglah satu-satunya solusi.

Tetapi, bagi yang pernah mencecap nasu likku berbasis ayam kampung dan ayam potong pasti tahu perbedaannya. Waktu masak adalah jawabannya. Saat dimasak dalam waktu relatif lama, daging ayam potong lebih mudah terlepas dari tulangnya. Sehingga saat disajikan kelak, daging ayam justru tampak hancur dan sangat lembek. Kenikmatan nasu likku turun drastis dengan kondisi seperti ini. Bagi saya yang terbiasa memakan nasu likku berbahan baku ayam kampung, ini adalah perkara. Dosa yang tak terampuni.

Sangat berbeda jika menggunakan ayam kampung. Potongan ayam tetap utuh, dagingnya sangat empuk malah, dengan perpaduan santan dan lengkuas yang telah menyerap paripurna. Menikmati nasu likku jenis ini semacam mencicip sepotong surga. Berlebihan mungkin, tapi makanan enak selalu saja membuat orang-orang tersenyum dan bergembira bukan?

Untuk perihal penyajian. Ada sedikit perbedaan tata cara menyajikan makanan di rumah Mhimi. Semua makanan yang dimasak ibunya, sebelum dinikmati, akan disajikan di atas baki besar. Baki ini berisi piring atau mangkuk mewakili jenis masakan yang ada.

Penyajian serupa ini —menggunakan baki besar dengan ukuran besar— biasanya dilakukan orang-orang tua dulu di kampung. Ayah Mhimi rupanya memilih untuk tetap merawat kebiasaan ini.

Pada lebaran tahun ini, baki besar itu berisi sepiring nasu likku, semangkuk tape, sepiring sup tulang, dan sepiring opor ayam. Seingat saya, baki itu disandingkan dengan dua sisir pisang dan segelas air putih. Piring-piring yang berisi nasi atau burasa serta tumbu’ biasanya diletakkan di depan orang-orang yang berkumpul.

Di depan baki dan piring-piring itu, para penghuni rumah Mhimi, seperti ayah, ibu, para ponakan, serta saudaranya duduk saling berdekatan. Acara berdoa atau mabbaca akan dipimpin seorang ustaz.

Biasanya, mabacca dilakukan di pagi hari, selepas melaksanakan salat Idulfitri. Atau, jika memungkinkan dan tidak mendesak, dilaksanakan sebelum orang-orang berangkat salat. Setelah keseluruhan prosesi mabbaca selesai ditunaikan, barulah makanan ini dapat dinikmati bersama.

Mhimi menjelaskan, bahwa ritual ini dilakukan ayah dan ibunya sebagai wujud syukurnya. Semacam doa syukuran karena masih dipertemukan dengan lebaran di tahun ini.

Ah, rupanya, pada sepiring nasu likku yang saya nikmati kali ini, tersisip rasa syukur dan untaian doa dari yang memasak dan menghidangkannya. Sungguh, nasu likku ini kian nikmat rasanya.

*Tulisan ini juga dimuat di www.minumkopi.com pada tanggal 29 Juni 2017.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments