Kisah Ibu Tentang Pagi

By Surya R. Labetubun - March 02, 2011


Sumber: dreamindonesia.files.wordpress.com
"Melati, ayo bangun. Sekarang sudah jam 7, ayo bangun. Anak gadis kok suka bangun terlambat, nanti rezkinya dipatok ayam", seru ibuku sambil menarik selimut  bermotif bintang laut berwarna dasar biru laut kesayanganku, buah tangan dari Tante Anggrek-adik ibu, sewaktu beliau menghadiri pernikahan keponaknnya itu di negri Jiran, selimut yang sedari tadi dengan setia memberi kehangatan dan kenyamanan bagiku.

"Iya,iya", jawabku.

"Lima menit lagi yah Ibuku sayang", lanjutku, kemudian mendekap mesra bantalku.
"Lima menit? Dari tadi jawabanmu lima menit melulu. Katanya mau ke kampus jam 8, ayo bangun, nanti telat", ujar ibuku yang terdengar mulai kesal dengan jawaban 'lima menit'ku itu, yang terdengar seperti sebuah syair berirama dangdut, tepat seperti jawabanku kepada Ibu yang kalau dihitung mungkin sudah 6 kali 'lima menit', berarti sudah 30 menit aku menunda bangun, untuk memulai aktifitasku.

"Ayo bangun", ucap ibu sambil mencubit gemas kedua pipiku. 

"Auh. Sakit Ibu", teriakku manja.

"Makanya bangun, kalau tidak Ibu cubit lagi pipimu", ujar ibu.

"Iya, iya", jawabku.

"Tapi memang benar ayam suka matuk rezki manusia? Memang beras atau makanan yang kita berikan untuk ayam tidak cukup membuatnya kenyang?", tanyaku menggoda ibu yang selalu menjadikan 'ayam' sebagai alasan agar aku mau bangun pagi.

"Bangun saja. Tidak usah ngeles", ujar ibu sambil tersenyum kecil, memperlihatkan betapa sabarnya beliau terhadap anak gadisnya yang manja, malas, dan bandel ini.Aku pun kemudian bangun dan beranjak meninggalkan tempat peristirahatanku yang sangat menggoda itu. Lalu aku berkata,

"Bu", 

"Ada apa?", jawabnya sambil tersenyum karena berhasil  membangunkanku.

"Apa ayamnya udah kenyang matuk rezkiku?", ujarku sambil tersenyum nakal.

"Melati....", teriak ibu dengan nada yang terdengar begitu kesal sambil memburuku dengan memegang bantal, mungkin bantal itu akan digunakannya untuk memukulku dengan gemas karena ulahku.

***

Kini kegiatan membangunkan si anak gadis yang 'manja, malas, dan bandel' juga kulakukan Kenanga, putriku yang berusia tepat 12 tahun, dua bulan lalu. Si gadis manja itu betul-betul mewarisi sifat 'malas bangun pagi ku'. Setiap hari aku harus membangunkan gadisku Kenanga, tentunya diiringi petuah si 'ayam', siasat yang dahulu ibu gunakan padaku, kini gunakan juga buat putriku. Tapi sikap 'ngeles'ku juga diwarisinya, setiap aku membangunkannya pasti ada pertanyaan dan pernyataan untuk menyudutkan si 'ayam'. Misalnya "Apa Ibu tidak cukup memberi ayam kita makanan sampai dia ingin memakan rezkiku?" atau "Sekalipun makanan di dunia ini tidak cukup membuat sang ayam kenyang, apa memang dia sanggup memakan semua rezki manusia, bagaimana kalau rezki seseorang tidak dalam bentuk makanan tapi dalam bentuk kerjaan atau jodoh?", bahkan suatu waktu bahkan dia berkata, "Ibu, Tuhan menciptakan makhluk tidak untuk saling mencuri hak satu sama lain. Sekalipun ayam adalah binatang yang tidak berakal, tapi mereka pasti secara insting mengetahui mana hak mereka. Bukankah Tuah Maha Adil dengan mencukupkan rezki hambanya atau ciptaan-NYA yang mau berusaha". Tentunya aku hanya tersenyum manis melihat tingkah laku anak gadisku ini.

Mungkin benar kata orang, kalau apa yang kita lakukan saat ini atau yang terdahulu terhadap orang tua kita, maka kita akan merasakannya suatu saat ketika kita juga memiliki anak. Tapi bagiku tidak tepat menyebutnya sebagai 'kualat' atau 'karma', karena Tuhan Maha Pengasih, kesalahan yang kita perbuat tidaklah pantas DIA balas dengan kemurkaan berupa dendam dalam wujud yang sama ketika kita menempati posisi yang sama seperti orang tua kita terdahulu. Menurutku yang ada hanyalah 'kausalitas' atau lebih tepatnya 'hubungan sebab-akibat', apa yang harus kita perbuat saat ini atau yang telah kita perbuat akan menjadi sebuah sebab terhadap sesuatu dan pastilah melahirkan akibat bagi diri sendiri atau kepada hal layak. Itu bukan kemurkaan Sang Pencipta, tetapi itu metodologiNYA dalam mendidik ciptaanNYA, agar bertanggungjawab terhadap segala perbuatan yang telah mereka perbuat.

Ternyata menjadi seorang ibu tidak semudah yang kupikirkan. Tidak hanya membentak atau meninggikan nada suara lantas dengan serta-merta sang anak akan tunduk patuh terhadap orang tua, atau dengan sikap lemah lembut yang bahkan terkesan manja lantas membuat anak juga akan mematuhi perkataan orang tua mereka. Tidak, tidak sperti itu. Menjadi orang tua, menjadi seorang ibu tepatnya, menjadikan kita sebagai sosok wanita yang harus selalu sabar, telaten, hormat dan sayang terhadap anak-anak kita. Peristiwa 'membangunkan anak gadis manja dengan petuah si ayam' yang telah menjadi tradisi dalam keluargaku, hanyalah salah satu contoh dari begitu banyak episode-episode nyata dari senetron 'Ibu'.

Suatu malam ketika Kenanga masih berusia 2 bulan, aku juga merasakan keadaan seperti yang ibu alami dulu. Aku harus bangun tengah malam, ketika Kenangan kecil menangis dengan teriakan yang cukup memecahkan keheningan malam, kemudian aku akan menghampiri tempat tidurnya dan melihat kondisinya, apa dia menangis karena kehausan atau karena pampersnya basah dan aku harus menggantinya dengan pampers yang baru, agar dia merasa nyaman tidur, juga dengan alasan kesehatan-agar kulit Kenanga tidak terkelupas atau iritasi. Entah mengapa setiap kali aku melakukan sesuatu yang kuanggap ibu pernah melakukannya padaku-dengan cara yang terbaik yang bisa dia perbuat pada anaknya, aku selalu termenung dan berpikir untuk melakukan apa yang terbai yang bisa kuberikan pada anakku, dan yang akan anakku berikan terhadap anaknya nanti. Perasaan haru menyelimuti hatiku.
Aku yang dahulu selalu membantah segala ucapannya, aku yang dahulu selalu tidak mematuhi semua aturannya, aku yang selalu tidak peduli atas semua perbuatan yang telah dia perbuat padaku, kutermenung mengingat segalanya.

Mungkin menjadi seorang wanita yang nantinya menjadi seorang ibu bukanlah pilihannya. Tetapi kepercayaan menjadi ibu dilaksanakannya sebaik-baiknya. Tidak mudah menjadi seorang ibu, apalagi menjadi seorang ibu yang nantinya menjadi idaman atau idola bagi anak-anaknya. Bagaimana tidak, sebuah pekerjaan yang dilakoninya selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu, bahkan seumur hidupnya. Sebuah pekerjaan yang tak hanya memeras tenaga tapi juga pikiran, yang tidak dibayar dengan materi bahkan dibalas dengan keletihan dan ketidakmengertian sang anak, belum lagi seorang ibu juga memiliki seorang suami-Ayah bagi anak-anak mereka. Satu orang yang mengurusi banyak jiwa selain dirinya, itulah sosok ibu. Namun, dibalik semua itu beliau tetap bersyukur atas semua yang diberikan dan dimilikinya.

Menjadi seorang ibu adalah anugerah bukan profesi tanpa tanda jasa, sebagai akibat ketika kita menjadi orang tua bagi anak-anak kita, ibu adalah anugerah bukan jabatan akibatstrata sosial atas perolehan kedudukan pada sbuah instansi atau kelembagaan, ibu adalah anugerah bukan kenyataan pahit yang menyulitkan kehidupan kita dalam mengasuh buah hati kita, ibu adalah anugerah bukan rintangan atau hambatan ketika kita akan berkarir atau mengejar impian kita.

                    ***

Ketika matahari mulai merangkak naik, menyapa bumi dengan cahaya merahnya. Pertanda fajar menyinsing, hari yang baru telah menanti.Hari ini bertepatan dengan tanggal 22 Desember yang dikenal dengan "Hari IBU". Pada saat yang sama, saat ibuku membuka matanya menyapa pagi yang cerah melalui jendela, melihat indahnya panorama alam semesta saat pagi menggaungkan kehadirannya, sesaat kemudian pandangan ibu terhenti pada meja riasnya, ia melihat sesuatu yang tak pernah dia temui di mejanya itu. Serangkain bunga mawar merah terikat rapi dengan pita berwarna senada, ibu lalu menghampirinya, mengambilnya, kemudian mencium bunga itu satu per satu, menciumi aroma bunga kesayangannya itu-bunga yang namanya persis seperti nama ibu. Kemudian ibu mengambil kertas mungil berwarna pink yang tertempel di cermin meja riasnya. Ibu duduk di atas ranjangnya, kemudian membaca kalimat-kalimat yang tertulis di kertas itu,

Untuk seorang wanita yang dengan setia mendidikku dengan kasih sayangnya
Untuk seorang wanita yang dengan penuh rasa kasih-sayang dan cinta membesarkanku
Untuk seorang wanita yang selalu meneteskan air matanya atas segala kesalahanku
padanya, kesalahan yang selalu dimaafkannya dengan senyuman terindah yang dimilikinya
Untuk seorang wanita yang tak pernah mengenal rasa lelah, meski hanya untuk membuatku tersenyum bahagia
Untuk seorang wanita yang tanpa kusadari selalu menjadi motivator dan inspirasi dalam hidupku
Untuk seorang wanita yang begitu spesial yang pernah ku temui
Untuk seorang wanita yang kukenal dengan sebutan IBU

Selamat hari IBU....
Terima kasih untuk segalanya


Melati Adinda;
Putrimu yang telah menjadi seorang Ibu.
***

  • Share:

You Might Also Like

0 comments