Tak Ada MIWF Tahun Ini

By Surya R. Labetubun - May 09, 2020

Sumber Gambar: indonesiatimur.co


Biasanya, saya melewati Mei dengan menghadiri salah satu kegiatan paling membahagiakan dan dinanti-nanti para pembaca buku di kawasan Indonesia Timur,  apalagi kalau bukan Makassar Writer International Festival (MIWF).

Tunggu, saya ralat, bukan hanya pembaca buku, karena di kegiatan tersebut kalian akan menemukan stand-stand yang menjajakan makanan, kegiatan pro lingkungan, beberapa kegiatan serta area ramah anak, kelas-kelas yang membahas perihal kesenian atau kerja-kerja kepenulisan, memperkenalkan upaya-upaya masyarakat agar literasi masuk ke daerah-daerah (memungkinkan terciptanya ruang interaksi literasi dan intelektual), dan panggung pementasan yang diisi sesi diskusi, pemutaran film, bahkan pementasan seni.

Saya akan meralatnya sekali lagi, MIWF juga memberi jalan bagi penulis-penulis kawasan Indonesia Timur untuk turut andil mewarnai dunia kepenulisan Indonesia, dengan jangkauan wilayah meliputi Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara, Maluku, dan Kalimantan.

Program ini seperti jalan tol untuk para penulis agar tulisannya dapat diakses semua orang, saat penerbit-penerbit besar kebanyakan hanya melirik penulis-penulis ternama di wilayah barat Indonesia. Karya yang diseleksi pihak kepanitiaan MIWF berupa puisi, cerpen, novel, naskah drama, atau skenario film.

Untuk karya puisi, Anda dapat menyaksikan langsung pembacaan puisi dalam program A cup of poetry di setiap senja di Taman Rasa. A cup of poetry memungkinkan Anda duduk di atas rumput, beberapa beralaskan semacam karpet/kain tipis, atau berdiri jika berada di barisan belakang, bersampingan dengan orang-orang, mendengarkan puisi yang dibaca dengan sangat interaktif serta diselingi dengan menikmati kopi gratis. Live dan tak berjarak.

Bagi saya, menghadiri MIWF bukan hanya perkara membeli buku dari sang penulis, ada romantisme di mana sebagai seorang pembaca yang mengidolakan seorang penulis, bersemuka dengan jarak satu jengkal bahkan bisa berswafoto itu bak memenangkan penghargaan tertentu. Perasaan mahal bagi kami yang tinggal di Timur Indonesia ini, itu mengapa saya selalu pulang dalam keadaan bahagia tak terkira.

Ya bagaimana tidak, hanya melalui kegiatan inilah kami dapat menatap langsung bahkan berinteraksi dengan nama-nama yang bukunya kami jaga sepenuh hati. Kami boleh basah karena hujan, tapi buku-buku kesayangan selalu memperoleh perlakuan istimewa.

Meski MIWF sudah ada sejak tahun 2011, saya baru bisa menghadirinya di tahun 2016, tahun-tahun sebelumnya saya alpa karena tidak mendapatkan informasi tepat pelaksanaan MIWF, selalu saja waktunya telah usai.

Sejak pertama kali menghadiri MIWF, saya kerap datang bersama sahabat-sahabat saya. Kedatangan kami didasari beragama alasan dengan pengalaman menarik masing-masing.

Salah satu pengalaman yang membekas di tahun 2016 karena mesti sampai sampai berburu waktu hanya untuk melihat mas Eddward S. Kennedy yang kala itu datang sebagai perwakilan Mojok.co di MIWF, padahal titik berangkat saya menuju Benteng Rotterdam -tempat pelaksanaan acara- mesti dilalui dengan jarak tempuh sekitar 19 Km serta diakses saat para pekerja kantor sedang berdesak-desak di jalan karena senja sebentar lagi pergi.

Melalui jarak tempuh yang cukup bikin punggung - sedikit- pegal, sudah dapat dipastikan saya tak mungkin mengikuti sesi tatap mukanya. Tetapi setidaknya, saya berhasil berswafoto dan meminta tanda tangannya setelah menunggu sekitar dua jam lebih tepat sebelum acara penutupan berlangsung.

Oh iya, kala itu, buku Eddward S. Kennedy yang saya pesan di toko daring belum tiba di Makassar, terpaksalah Raden Mandasia menjadi tempat mas Edo membubuhkan tanda tangannya. Mana pas minta tanda tangan, saya malah request nama saya dan seorang sahabat untuk ditulis sama mas Edo. Banyak maunya betul.

Pengalaman menarik lainnya tetapi menjengkalkan yang saya lalui kala ingin menyaksikan salah satu sesi diskusi yang dihadiri oleh mbak Dewi Lestari. Ketika itu, bermodal nama lokasi yang saya peroleh dari situs resmi MIWF, saya dan seorang sahabat dengan semangat 45 berangkat menuju ke Museum Kota Makassar.

Tiba di parkiran kok masih sepi, padahal acara akan dimulai sekitar 15 menit lagi, ya sudah, masuklah kami di museum tersebut. Sampai di dalam, kami bertanya ke petugas tentang niat kedatangan kami. Dan, rupanya tak ada kegiatan apapun di sana. Tak ada, dan tak mungkin ada karena museum tidak diperuntukkan untuk kegiatan semacam itu.

Dengan setengah putus asa, saya membuka kembali laman site MIWF dan membaca dengan teliti lokasi yang dimaksud. Yup, sesuai dugaan semuanya, saya salah sangka. Hanya karena diawali dengan kata museum, saya dan sahabat saya karena euforia bakal bertemu dengan Dee Lestari, menafikan kata pelengkap setelah museum.

Seharusnya yang kami kunjungi tetap Benteng Rotterdam dan mencari museum La Galigo di dalam kompleks Benteng Rotterdam. Bukan malah ke museum kota Makassar. Setelah mengutuki diri sendiri dan meminta maaf atas keteledoran bersama, kami segera menuju Benteng Rotterdam yang jaraknya kurang dari satu kilometer. Alhamdulillah, puji tuhan, kami akhirnya dapat melihat penulis Supernova itu.

Sayangnya, pengalaman demi pengalaman yang saya lalui tampaknya harus berhenti sejenak dulu, sebab di tengah pandemi ini, seperti kegiatan-kegiatan lainnya, demi menekan laju penyebaran Covid19, maka Rumata Artspace memutuskan tak ada MIWF tahun ini. Sedih memang, apalagi sejak di Januari saya dan para sahabat serta beberapa siswa sudah menjadwalkan akan menghadiri MIWF.

Oh iya, meski tak ada MIWF tahun ini, pihak Rumata Artspace tetap melaksanakan program bertajuk "Di Rumah" untuk menemani hari-hari kita dengan mengadakan sesi diskusi, tanya jawab, serta obrolan santai dan menarik melalui live instagram di akun @makassarwriters. Bahkan, membuka program baru bertajuk Rumata Online Course sebagai penuntas rasa rindu kita menghadiri kelas-kelas MIWF.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments